Pemimpin Milenial, Pemimpin Pelayan Umat

Belum usai tangis Lombok memecah telinga. Bertalu-talu irisan pilu Palu. Tak habis sedih Palu, Situbondo layaknya tak enggan bergoyang mengguncang wilayahnya. Banjir Pasaman, Aceh gempa, dan daerah lainnya yang seakan bersahut-sahutan menerima arisan bencana. Tidak dipungkiri termasuk sebenarnya bahwa rerata lokasi Indonesia berada di daerah yang rawan bencana. Banyaknya gunung api termasuk penyebab salah satunya. Tapi apakah seluruh hanya berlangsung begitu saja? Tentu tidak.

Lemahnya peran pemimpin jadi salah satu akar masalah atas seluruh tragedi bencana. Bagaimana tidak, pemimpin sebagai pemegang tampuk roda pemerintah bertanggung jawab atas tiap-tiap apa yang berlangsung di daerahnya, termasuk akan halnya bencana. Sudah paham daerah rawan bencana, tetap saja tak berbuat apa-apa. Apa tidak takut azab Sang angkara murka? Alih-alih menangani bencana, acuhkan pun hanya sekedarnya saja. Ditambah bursa penentuan perubahan pemimpin semakin dekat. Kepedulian mereka hanya seolah mencari nama saja. Tidak nampak kemauan mulia menangani bencana.

Dalam Islam, jadi pemimpin bukan perkara yang mudah. Tentu saja dikarenakan kudu memenuhi lebih dari satu kriteria. Baik itu persyaratan mutlak atau tambahan. Syarat mutlak seorang pemimpin di dalam Islam adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan berkemampuan. Syarat tambahan–termasuk syarat afdholiyah (keutamaan) adalah penduduk Quraisy dan mujtahid (Syekh Abdul Qadim Zallum di dalam kitab Nidhomul Hukmi fil Islami).

Beberapa persyaratan berikut memadai untuk menjaring calon pemimpin unggulan. Dan mengingat seorang pemimpin di dalam pandangan Islam adalah manusia yang paling bertanggung jawab pada rakyat yang dipimpinnya, maka konsekuensi logisnya adalah kudu dipilih calon pemimpin yang handal dan kapabel berdasarkan persyaratan berikut di atas. Sabda Rasulullah saw: “Pemimpin akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Memilih pemimpin termasuk memilih era depan kita. Sedikit saja kita melaksanakan kesalahan, maka alamat fatal yang kita terima. Kesalahan kita itu kudu dibayar mahal dengan pengorbanan yang kemungkinan adalah kesia-siaan. Dengan demikian, kudu pintar memilih dan memilah calon pemimpin kita. Tentu saja, mereka kudu memenuhi persyaratan di atas.

Rasulullah mengajarkan kepada kita, bahwa jadi pemimpin itu kudu senang mengorbankan kala dan pikirannya untuk mengurus rakyat. Semua urusan, berasal dari menjadi masalah memenuhi kesejahteraannya dengan pendistribusian harta yang benar, memberikan peluang untuk bekerja di sektor yang halal, merawat mereka berasal dari ancaman kapabilitas yang akan membinasakannya. Baik ancaman berasal dari kapabilitas militer atau kesimpulan yang diemban oleh para penggoyang stabilitas.

Untuk urusan memenuhi kesejahteraan rakyat, di dalam kisah yang amat populer, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab dulu menyusuri sudut kota Madinah pada malam hari untuk memantau warganya, dan ternyata menemukan seorang ibu yang tengah memasak batu—karena tidak tersedia makanan—untuk membujuk putranya yang kelaparan. Selanjutnya, Umar bergegas ke baitul maal dan memberikan sekarung gandum.

Saking tidak ingin memakan harta milik rakyatnya, Khalifah Abu Bakkar Ashshiddiq pun senang ngemut batu menghambat lapar slot gacor hari ini sepanjang perjalanannya. Atau sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menutup hidungnya kala melaksanakan pengontrolan ke baitul maal hanya dikarenakan dia tak ingin menghirup minyak wangi hak rakyatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *